ORGANISASI MUHAMMADIYAH

       Sejak resmi berdirinya hingga sekarang organisasi Muhammadiyah bukan partai politik kecuali pada era Masyumi dan Parmusi. Muhammadiyah ikut serta dalam mensponsori partai politik tersebut. Namun, perjuangan Muhammadiyah tidak pernah mengabaikan persoalan politik melainkan selalu ikut serta dalam membela kepentingan agama dan tanah air

       
     Muhammadiyah dalam masalah politik ingin membagi kerja dengan organisasi Islam yang lain. Dalam masalah politik, misi dan visi Muhammadiyah di salurkan melalui organisasi yang ada. Pada zaman K.H Ahmad Dahlan secara tegas— tegas dikatakan bahwa jika orang—orang Muhammadiyah mau berpolitik boleh masuk Sarekat Islaln (SI) tetapi ketika SI kemasukan unsur-unsur Marxis (SI merah) tidak membenarkan anggota SI merangkap keangotaan dengan organisasi lain.Kemudian tokoh -tokoh Muhammadiyah mendirikan Partai Islam Indonesia (PIl) pada tahun 1938 yang diketuai oleh Muhammadiyah sendiri yaitu H. Mansyur tetapi tidak berlangsung lama  karena adanya pendudukan Jepang.Bersama organisasi Islam lain Muhammadiyah mendirikan Masyumi.Masyumi adalah salah satunya partai politik umat Islam (Alkindi,1995:153). 
      
     Masyumi berdiri pada tanggal 7-8 November 1945 sebagai hasil keputusan 
Muktamar Umat Islam Indonesia 1 yang berlangsung di Yogyakarta (gedung Madrasah Muallimin Muhammadiyah). Partai Islam Masyumi merupakan partai  yang dalam keanggotaannya menganut dua sistem yang pertama yaitu sistem stelsel pasif artinya setiap anggota organisasi pendukung partai otomatis menjadi anggota,
yang kedua sistem stelsel aktif artinya bahwa seseorang yang ingin ınenjadi anggota
partai harus aktif artinya bahwa seseorang yang ingin menjadi anggota partai harus aktif mendaftarkan dirinya.
Sesungguhnya partai Masyumi ini merupakan kelanjutan dari kegiatan politik organisasi Islam pada zaman Belanda yang dikenal dengan nama
MIAI (Majelis Islam A'la Indonesia). MIAI adalah suatu wadah federasi dari semua
organisasi İslam yang didirikan pada tanggal 21 September 1937 di Surabaya atas inisiatif K.H Mas Mansyur (Muhammadiyah), K.H Wahab Hasbııllah (NU) dan Wondo Amiseno (Sİ). Kemudian, pada masa pendudukan Jepang gabungan gerakan
Ä°slam yang juga bersifat federasi semacam MIAI ini dinamakan Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). Organisasi pendukung partai Masyumi tersebar diseluruh pelosok tanah air seperti Al Wasliyah yang hanya ada di daerah Sumatera
Utara dan Aceh, Persatuan Umat Islam yang sebagian pendukungnya hanya ada di daerah Jawa Barat, PERSIS sebagian besar ada di Jawa Barat dan Jawa Timur (Bangli dan sekitarnya),Al Irsyad yang hanya ada di daerah kota pesisir, Sarekat Ä°slam yang ada di perkotaan, Nahdatul Ulama sebagian besar yang ada didaerah  pulau Jawa, Madura dan Kalimantan.Tidak demikian halnya dengan Muhammadiyah ini hampir ınerata ada di  seluruh pclosok tanah air (Pasha,2003:98).
       

       Lalu muncul perpecahan dalaın Masyumi yang ditandai dengan keluarnya dukungan SI terhadap partai Masyumi pada tanggal 3 Juli 1948 yang kemudian menjadikan dirinya sebagai PSII.Kemudian pada tanggal 5 April 1952 NU juga menyusul  sikap SI dengan menjadikannya sebagai partai Nahdatul Ulama. Pada tanggal 29 September 1955 dan 15 Desember 1955, pemilu untuk pertama kalinya dilaksanakan untuk memilih angota DPR pusat dan DPR daerah serta anggota Konstituante.Masyumi termasuk salah satu dari peserta pemilu yang diikuti lebih dari 30 partai/perseorangan. Sikap organisasi Muhammadiyah dalam menghadapi Pemilu tahun 1955 tersebut yaitu pada Muktamar Muhannmadiyah ke-32 pada tahun 1953 di Purwokerto menghasilkan keputusan " Seluruh anggota Muhammadiyah di tingkat pusat, wilayah, daerah, cabang dan ranting harus memilih Masyumi pada Pemilu pada tanggal 29 September 1955 dan 15 Desember 1955, " demikian juga halnya organisasi Muhammadiyah di Palembang di bawah kepemimpinan H.Zainal Arifin periode tahun 1947-1962 memperhatikan keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-32 itu (Syaifullah, 1997:142).

     Masyumi merupakan partai yang terkuat di luar pulau Jawa dengan memenangkan antara setengah jumlah keseluruhan suara disemua wilayah kecuali Bali,Aceh dan Jawa Barat.Di tingkat pusat empat besar partai politik yaitu PNI dan Masyumi masing masing 57 kursi parlemen,NU 45 kursi dan PKI dengan 39 kursi parlemen (Ricklefs,1998:378)

    Hasil pemilihan umum untuk parlemen pada tanggal 29 September 1955 di Sumatera Selatan yaitu Masyumi 628.384 suara,PNI,PKI dan PSII.Hasil pemilihan anggota Konstituante di Sumatera Selatan pada tanggal 15 Desember 1955 yaitu Masyumi mengalami kemenangan dengan 594.450 suara setelah PNI,PKI dan NU (Departemen Penerangan,1956:355-356).

    Pemilu berikutnya yang direncanakan pada tanggal 15 Septembcr 1959. Sikap organisasi Muhammadiyah akan tetap loyal pada keputusan Muktamar

Muhammadiyah ke-32 pada tahun 1953 di Purwokerto. Tetapi, Pemilu tidak dapat dilaksanakan karena adanya Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dan dibubarkannya Masyumi pada tahun 1960 (Syaifullah, 1997:204).


    Denga alasan dari pemerintah karena tokoh-tokoh Masyumi terlibat dalam pemberontakan PRRI maka keluarlah Surat Keputusan Presiden No.200 tahun 1960 yang diumumkan pada tanggal 17 Agustus 1960 yang isinya " pemerintah membubarkan Partai Islam Masyumi termasuk bagian-bagian, cabang dan ranting Masyumi di seluruh wilayah negara Republik Indonesia dengan ketentuan bahwa dalam waktu 30 hari terhitung mulai tanggal berlakunya keputusan tersebut Masyumi diharuskan menyatakaan partainya bubar dengan memberitahukan kepada presiden". Atas dasar Keputusan Presiden di atas DPP Masyumi pada tanggal 13 September 1960 telah membubarkan Masyumi termasuk bagian-bagian cabang dan rantingnya ( seluruh wilayah negara Republik Indonesia (Pasha,2003:106).
Berdasarkan data di atas Muhammadiyah dalam partai politik Masyumi adalah bersifat unitaris dimana Muhammadiyah tetap berdiri sendiri. Suara kemenangan Masyumi tidak  terlepas dari suara warga Muhammadiyah yang hampir tersebar di seluruh penjuru tanah air termasuk di Palembang.


Selain itu, keikutsertaan organisasi Muhammadiyah dalam Masyumi mempengaruhi juga kebijakan organisasi Muhammadiyah di Palembang.Organisasi Muhammadiyah tidak mendapat hambatan untuk menjadi bagian dalam Masyumi. Karena instruksi dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta agar ikut aktif dalam Masyumi maka pengurus Muhammadiyah di palembang ikut menjadi bagian dalam Masyumi dengan berusaha memenangkan penilu yang akan dilaksanakan pada tahun 1955. Hal ini dilaksanakan oleh warga Muhammadiyah yang pertama karena instruksi dari Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta dan kedua tokoh yang masuk Masyumi ada yang berasal dari Muhammadiyah. Adapun tokoh yang aktif dari Muhammadiyah yang masuk Masyumi adalah K.H Mansyur Azhafi. Karena Masyumi di Palembang pada Pemilu tahun 1955 mengalami kemenangan akhirnya K.H Mansyur Azhari masuk anggota parlemen (wawancara M. Tusin Djamaluddin, 2 Juni 2005).